BAB
1
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Pada
zaman Rasulullah SAW, pemeliharaan ayat-ayat al-Qur’an dilakukan melalui
hafalan baik oleh Rasulullah maupun oleh sahabat-sahabat beliau. Namun kemudian
Rasul memerintahkan para sahabat untuk menulisnya dengan tujuan untuk
memperkuat hafalan mereka. Ayat-ayat al-Qur’an tersebut ditulis melalui
benda-benda seperti yang terbuat dari kulit binatang, batu yang tipis dan
licin, pelapah kurma, tulang binatang dan lain-lain. Tulisan-tulisan dari
benda-benda tersebut dikumpulkan untuk Nabi dan beberapa diantaranya menjadi
koleksi pribadi sahabat yang pandai baca tulis.
Tulisan-tulisan
melalui benda yang berbeda tersebut memang dimiliki oleh Rasulullah namun tidak
tersusun sebagaimana mushaf yang sekarang ini. Namun, ketika Rasul wafat, dan
digantikan oleh khalifah Abu Bakar, terjadi pemurtadan masal dan menyebabkan
Khalifah Abu Bakar melakukan tindakan dengan cara memeranginya. Dalam perang
yang disebut perang Yamamah tersebut sekitar 70 Huffaz (para penghafal Qur’an)
mati syahid.
Dari
situlah muncul gagasan untuk mengumpulkan Ayat al-Qur’an yang dipelopori oleh
Umar bin Khattab. Meskipun gagasan tersebut tidak langsung disetujui oleh
Khalifah Abu Bakar, namun alasan Umar bin Khattab bisa diterima dan dimulailah
pengumpulan al-Qur’an hingga selesai. Dengan demikian, disusunlah
kepanitiaan atau Tim penghimpun al-Qur’an yang terdiri atas Zaid bin
Tsabit sebagai ketua dibantu oleh Ubay bin Ka’ab, Usman bin Affan, Ali bin Abi
Thalib, dan para Sahabat lainnya sebagai Anggota.
Namun dengan rentan waktu yang panjang, mulai pada
tanggal 12 Rabbiul Awwal tahun 11 H/632 M yang ditandai dengan wafatnya
Rasulullah, hingga 23-35 H/644-656 M (masa pemerintahan Khalifah Usman bin
Affan) atau sekitar 18 tahun setelah wafatnya nabi barulah dibukukan al-Qur’an
yang dikenal dengan Mushaf Utsmani. Antara rentan waktu yang cukup
panjang hingga beragam suku dan dialek apakah berpengaruh atas penyusunan kitab
suci al-Qur’an tentunya masih menjadi tanda tanya.
Sementara pandangan seperti di atas, umat Islam di
Seluruh Dunia meyakini bahwa al-Qur’an seperti yang ada pada kita sekarang ini
adalah otentik dari Allah swt. melalui Rasulullah saw., namun cukup menarik,
semua riwayat mengatakan bahwa pembukuan kitab suci itu tidak dimulai oleh
Rasulullah saw., melainkan oleh para sahabat beliau, dalam hal ini khususnya
Abu Bakar, Umar Bin Khattab dan Usman Bin Affan.
Pesan komunikasi yang telah melewati perantara dari
seorang tertahap orang lain, terlebih melewati frekuensi jumlah orang yang
banyak akan meragukan keabshahan pesan alsi tersebut. Selain
itu, rentan waktu yang cukup lama juga amat berpengaruh terhadap nilai dari
pesan. Yang menarik adalah seperti apa membuktikan bahwa pesan al-Qur’an adalah
sesuatu yang telah ditetapkan berdasarkan ketetapan Allah!
1.2.Rumusan Masalah
- Apa yang
dimaksud dengan Jam’ul Qur’an ?
- Bagaimana
proses pengumpulan al-Qur’an pada setiap periode ?
1.3.Tujuan Penullisan
- Mengetahui
apa pengertian dari Jam’ul Qur’an.
- Mengetahui
secara terperinci apa bagaimana proses pengumpulan al-Qur’an pada setiap
periodenya.
BAB
2
PEMBAHASAN
2.1.Pengertian Jam’ul Qur’an
Merujuk kepada definisi
al-Qur’an yang sebelumnya telah disepakati oleh para ulama’:
“Al-Qur’an adalah kalam Allah
yang berupa mukjizat, diturunkan kepada Muhammad
saw. dan dinukil kepada kita secara mutawatir, serta dinilai beribadah
ketika membacanya”
Maka, materi al-Qur’an yang
merupakan mukjizat itu sampai kepada kita melalui proses penukilan, bukan
periwayatan. Dengan
begitu dapat diartikan dengan memindahkan materi yang sama dari sumber asli ke
dalam mushaf. Karena itu, pengumpulan al-Qur’an itu tidak lain merupakan bentuk
penghafalan al-Qur’an di dada dan penulisannya dalam lembaran. Sebab, dua
realitas inilah yang mencerminkan proses penukilan materi al-Qur’an. Dua
realitas penghafalan al-Qur’an di dada dan penulisannya dalam lembaran ini
secara real telah berlangsung dari kurun ke kurun, sejak Rasul hingga kini, dan
bahkan Hari Kiamat.[1]
Ditinjau dari segi bahasa, al-Jam’u berasal dari kata يخمع- جمع yang artinya mengumpulkan. Sedangkan pengertian al-Jam’u secara
terminologi, para ulama berbeda pendapat. Menurut Az-Zarqani, Jam’ul Qur’an
mengandung dua pengertian. Pertama mengandung makna menghafal al-Qur’an dalam
hati, dan kedua yaitu menuliskan huruf demi huruf dan ayat demi ayat yang telah
diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Menurut al-Qurtubi dan Ibnu
Katsir maksud dari Jam’ul Qur’an adalah menghimpun al-Qur’an dalam hati atau
menghafal al-Qur’an.[2]
Menurut Ahmad von Denffer,
istilah pengumpulan al-Qur’an (jam’ al-qur’ân) dalam literatur klasik
itu mempunyai berbagai makna[3],
antara lain:
- Al-Qur’an dicerna oleh hati.
- Menulis kembali tiap pewahyuan.
- Menghadirkan materi al-Qur’an untuk
ditulis.
- Menghadirkan laporan (tulisan) para
penulis wahyu yang telah menghafal al-Qur’an.
- Menghadirkan seluruh sumber, baik
lisan maupun tulisan.
Berdasarkan
pendapat para ulama di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud
dengan Jam’ul Qur’an adalah usaha penghimpunan dan pemeliharaan al-Qur’an yang
meliputi penghafalan, serta penulisan ayat-ayat serta surat-surat dalam al-Qur’an.[4]
2.2.Jam’ul Qur’an Periode Nabi.
- Pengumpulan
dalam dada.
Secara
kodrati, bangsa arab memiliki daya hafal yang kuat. Hal itu dikarenakan
sebagian besar dari mereka buta huruf atau tidak dapat membaca dan menulis.
Sehingga dalam menulis berita, syair, atau silsilah keluarga mereka hanya
menuliskannya dalam hati. Termasuk ketika mereka menerima ayat-ayat al-Qur’an
yang disampaikan oleh Rasulullah SAW.
Dalam kitab shahih Bukhari, dikemukakan bahwa terdapat
tujuh Huffaz melalui tiga riwayat. Mereka adalah Abdullah
bin Mas’ud, Salim bin Ma’qal, Muadz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit,
Abu Zaid bin Sakan, dan Abu Darda.
- Pengumpulan
dalam bentuk tulisan
Rasulullah telah mengangkat para penulis
wahyu Qur’an dari para sahabat pilihan seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Abban bin Sa‘id,
Khalid bin Sa‘id, Khalid bin al-Walid, Mu‘awiyah bin Abu Sufyan, Ubay bin Ka’ab, dan Zaid bin Tsabit.
Selain penulis wahyu, para sahabat yang lainnya pun ikut menulis ayat-ayat al-Qur’an. Kegiatan ini didasarkan pada sebuah hadits Nabi[5]
:
لَا تَكْتُبُوْاعَنِّي شَيْئًاإِلَّاالْقُرْاٰنَ وَمَنْ كَتَبَ
عَنِّي سِوَى الْقُرْاٰنَ فَلْيَمْحُهُ.
Artinya :
“Janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal dariku
kecuali al-Qur’an. Barang siapa telah menulis dariku selain al-Qur’an,
hendaklah ia menghapusnya.” (H.R. Muslim)
Diantara
faktor pendorong penulisan al-Qur’an pada masa Nabi[6]
adalah :
1.
Mem-back up hafalan yang telah dilakukan oleh Nabi dan para
sahabatnya.
2.
Mempresentasikan wahyu dengan cara yang paling sempurna, karena bertolak
dari hafalan para sahabat saja tidak cukup karena terkadang mereka lupa atau
sebagian dari mereka sudah wafat. Adapun tulisan tulisan akan tetap terpelihara
walaupun pada masa Nabi al-Qur’an tidak ditulis di tempat tertentu.
Dalam suatu cacatan, disebutkan bahwa sejumlah bahan yang
digunakan untuk menyalin wahyu-wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Muhammad[7], yaitu :
1.
Riqa, atau lembaran lontar
(daun yang dikeringkan) atau perkamen (kulit binatang).
2.
Likhaf, atau batu tulis
berwarna putih, terbuat dari kepingan batu kapur yang terbelah secara
horizontal lantaran panas.
3.
‘Asib, atau pelapah kurma,
terbuat dari bagian ujung dahan pohon kurma yang tipis.
4.
Aktaf, atau tulang belikat,
biasanya terbuat dari tulang belikat unta.
5.
Adlla’ atau tulang rusuk,
biasaya juga terbuat dari tulang rusuk unta.
6.
Adim, atau lembaran kulit,
terbuat dari kulit binatang asli yang merupakan bahan utama untuk menulis
ketika itu.
Para sahabat menyodorkan al-Qur’an
kepada Rasulullah secara hafalan maupun tulisan. Tetapi tulisan-tulisan yang
terkumpul pada jaman nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf, dan yang ada pada
seseorang belum tentu dimiliki yang lainnya.
2.3.Jam’ul Qur’an periode Abu Bakar Ash-Shidiq
Pasca
wafatnya Rasulullah SAW, kekhalifahan bangsa Arab beralih kepada Abu Bakar.
Pada masa kekhalifahannya, Abu Bakar dihadapkan oleh kemurtadan yang terjadi di
kalangan bangsa Arab. Abu Bakar pun segera mengerahkan pasukan untuk menumpas
kemurtadan. Perang itupun dikenal dengan sebutan Perang Yamamah yang terjadi pada tahun 11 H/633 M.
Dalam
perang tersebut, sekitar 70 orang Huffaz mati Syahid. Umar bin Khattab merasa
khawatir atas peristiwa ini. Maka Umar mengadukan kekhawatirannya tersebut
kepada Abu Bakar.
Diceritakan
bahwa Bukhari meriwayatkan di dalam shahihnya dari Zaid bin Tsabit, ia berkata:
حَدَّثَنَا أَبُو
الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي ابْنُ
السَّبَّاقِ أَنَّ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ الْأَنْصَارِيَّ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُوَكَانَ مِمَّنْ يَكْتُبُ الْوَحْيَ قَالَ أَرْسَلَ إِلَيَّ أَبُو بَكْرٍ
مَقْتَلَ أَهْلِ الْيَمَامَةِ وَعِنْدَهُ عُمَرُ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ
عُمَرَ أَتَانِي فَقَالَ إِنَّ الْقَتْلَ قَدْ اسْتَحَرَّ يَوْمَ الْيَمَامَةِ
بِالنَّاسِ وَإِنِّي أَخْشَى أَنْ يَسْتَحِرَّ الْقَتْلُ بِالْقُرَّاءِ فِي
الْمَوَاطِنِ فَيَذْهَبَ كَثِيرٌ مِنْ الْقُرْآنِ إِلَّا أَنْ تَجْمَعُوهُ
وَإِنِّي لَأَرَى أَنْ تَجْمَعَ الْقُرْآنَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ قُلْتُ لِعُمَرَ
كَيْفَ أَفْعَلُ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَقَالَ عُمَرُ هُوَ وَاللَّهِ خَيْرٌ فَلَمْ يَزَلْ عُمَرُ يُرَاجِعُنِي
فِيهِ حَتَّى شَرَحَ اللَّهُ لِذَلِكَ صَدْرِي وَرَأَيْتُ الَّذِي رَأَى عُمَرُ
قَالَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَعُمَرُ عِنْدَهُ جَالِسٌ لَا يَتَكَلَّمُ فَقَالَ
أَبُو بَكْرٍ إِنَّكَ رَجُلٌ شَابٌّ عَاقِلٌ وَلَا نَتَّهِمُكَ كُنْتَ تَكْتُبُ
الْوَحْيَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَتَبَّعْ
الْقُرْآنَ فَاجْمَعْهُ فَوَاللَّهِ لَوْ كَلَّفَنِي نَقْلَ جَبَلٍ مِنْ
الْجِبَالِ مَا كَانَ أَثْقَلَ عَلَيَّ مِمَّا أَمَرَنِي بِهِ مِنْ جَمْعِ
الْقُرْآنِ قُلْتُ كَيْفَ تَفْعَلَانِ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ هُوَ وَاللَّهِ خَيْرٌ فَلَمْ
أَزَلْ أُرَاجِعُهُ حَتَّى شَرَحَ اللَّهُ صَدْرِي لِلَّذِي شَرَحَ اللَّهُ لَهُ
صَدْرَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ فَقُمْتُ فَتَتَبَّعْتُ الْقُرْآنَ أَجْمَعُهُ مِنْ
الرِّقَاعِ وَالْأَكْتَافِ وَالْعُسُبِ وَصُدُورِ الرِّجَالِ حَتَّى وَجَدْتُ مِنْ
سُورَةِ التَّوْبَةِ آيَتَيْنِ مَعَ خُزَيْمَةَ الْأَنْصَارِيِّ لَمْ أَجِدْهُمَا
مَعَ أَحَدٍ غَيْرِهِ} لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ
حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ {إِلَى آخِرِهِمَا وَكَانَتْ الصُّحُفُ الَّتِي جُمِعَ
فِيهَا الْقُرْآنُ عِنْدَ أَبِي بَكْرٍ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ عِنْدَ
عُمَرَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ عِنْدَ حَفْصَةَ بِنْتِ عُمَرَتَابَعَهُ
عُثْمَانُ بْنُ عُمَرَ وَاللَّيْثُ عَنْ يُونُسَ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ وَقَالَ
اللَّيْثُ حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ خَالِدٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ وَقَالَ
مَعَ أَبِي خُزَيْمَةَ الْأَنْصَارِيِّ وَقَالَ مُوسَى عَنْ إِبْرَاهِيمَ
حَدَّثَنَا ابْنُ شِهَابٍ مَعَ أَبِي خُزَيْمَةَ وَتَابَعَهُ يَعْقُوبُ بْنُ
إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَبِيهِ وَقَالَ أَبُو ثَابِتٍ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ وَقَالَ
مَعَ خُزَيْمَةَ أَوْ أَبِي خُزَيْمَةَ.
Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman Telah mengabarkan kepada kami
Syu'aib dari Az Zuhri dia berkata; Telah mengabarkan kepadaku Ibnu As Sabbaq
bahwa Zaid bin Tsabit Al Anshari radliallahu 'anhu -salah seorang penulis
wahyu- dia berkata; Abu Bakar As shiddiq datang kepadaku pada waktu perang
Yamamah, ketika itu Umar disampingnya. Abu Bakr berkata bahwasanya Umar
mendatangiku dan mengatakan; "Sesungguhnya perang Yamamah telah berkecamuk
(menimpa) para sahabat, dan aku khawatir akan menimpa para penghafal Qur'an di
negeri-negeri lainnya sehingga banyak yang gugur dari mereka kecuali engkau
memerintahkan pengumpulan (pendokumentasian) al Qur`an." Abu Bakar berkata
kepada Umar; "Bagaimana aku mengerjakan suatu proyek yang tidak pernah
dikerjakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam?" Umar menjawab;
"Demi Allah hal itu adalah sesuatu yang baik." Ia terus mengulangi
hal itu sampai Allah melapangkan dadaku sebagaimana melapangkan dada Umar dan
aku sependapat dengannya. Zaid berkata; Abu Bakar berkata; -pada waktu itu
disampingnya ada Umar sedang duduk, dan dia tidak berkata apa-apa.-
"Sesungguhnya kamu adalah pemuda yang cerdas, kami tidak meragukanmu, dan
kamu juga menulis wahyu untuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, karena
itu kumpulkanlah al Qur'an (dengan seksama)." Zaid berkata; "Demi
Allah, seandainya mereka menyuruhku untuk memindahkan gunung dari gunung-gunung
yang ada, maka hal itu tidak lebih berat bagiku dari pada (pengumpulan atau
pendokumentasian al Qur'an). kenapa kalian mengerjakan sesuatu yang tidak
pernah dikerjakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam?" Abu Bakar
menjawab; "Demi Allah hal itu adalah baik." Aku pun terus
mengulanginya, sehingga Allah melapangkan dadaku sebagaimana melapangkan dada
keduanya (Abu Bakar dan Umar). Lalu aku kumpulkan al Qur'an (yang ditulis) pada
kulit, pelepah kurma, dan batu putih lunak, juga dada (hafalan) para sahabat.
Hingga aku mendapatkan dua ayat dari surat Taubah berada pada Khuzaimah yang
tidak aku temukan pada sahabat mana pun. Yaitu ayat: Sungguh telah datang
kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu,
sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi
penyayang terhadap orang-orang mukmin. Jika mereka berpaling (dari keimanan),
maka katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya
kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang
agung." (9: 128-129). Dan mushaf yang telah aku kumpulkan itu berada pada
Abu Bakr hingga dia wafat, kemudian berada pada Umar hingga dia wafat, setelah
itu berada pada Hafshah putri Umar. Diriwiyatkan pula oleh 'Utsman bin
'Umar dan Al Laits dari Yunus dari Ibnu Syihab; Al Laits berkata; Telah
menceritakan kepadaku 'Abdur Rahman bin Khalid dari Ibnu Syihab; dia berkata;
ada pada Abu Huzaimah Al Anshari. Sedang Musa berkata; Dari Ibrahim
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Syihab; 'Ada pada Abu Khuzaimah.' Juga
diriwayatkan oleh Ya'qub bin Ibrahim dari Bapaknya. Abu Tsabit berkata; Telah
menceritakan kepada kami Ibrahim dia berkata; 'Ada pada Khuzaimah atau Abu
Khuzaimah.[8]
Jati diri Zaid bin Tsabit begitu istimewa sehingga tak
heran Abu Bakar dan Umar diberikan kelapangan dada untuk memberikan tugas
tersebut pada Zaid bin Tsabit, yang mana sebagai pengumpul dan pengawas komisi
ini Zaid bin Tsabit dibantu Umar sebagai sahibul fikrah yakni pembantu khusus. Beberapa
keistimewaan tersebut diantaranya adalah[9]
:
- Berusia muda, saat itu usianya di awal 20-an
(secara fisik & psikis kondisi prima)
- Akhlak yang tak pernah tercemar, ini terlihat
dari pengakuan Abu Bakar yang mengatakan bahwa, “Kami tidak pernah
memiliki prasangka negatif terhadap anda”.
- Kedekatannya dengan Rasulullah SAW, karena
semasa hidup Nabi, Zaid tinggal berdekatan dengan beliau.
- Pengalamannya di masa Rasulullah SAW masih
hidup sebagai penulis wahyu dan dalam satu kondisi tertentu pernah Zaid
berada di antara beberapa sahabat yang sempat mendengar bacaan al-Qur’an malaikat jibril bersama Rasulullah SAW
di bulan Ramadhan.
- Kecerdasan
yang dimilikinya menunjukkan bahwa tidak hanya karena memiliki vitalitas
dan energi namun kompetensinya dalam kecerdasan spiritual dan intelektual
Seperti diceritakan
diatas, pengumpulan al-Qur’an dilaksanakan oleh Zaid atas arahan khalifah.
Waktu pengumpulan Zaid terhadap al-Qur’an sendiri
sekitar 1 tahun. Hal ini dikarenakan Zaid bin Tsabit melakukannya dengan sangat
hati-hati. Hal yang pertama kali Zaid lakukan adalah mengumumkan bahwa siapa
saja yang memiliki berapapun ayat al-Qur’an, hendaklah diserahkan kepadanya. Ia
tidak akan menerima satu ayat pun melainkan orang tersebut membawa bukti dan
dua orang saksi yang menyatakan bahwa apa yang ia bawa adalah wahyu Qur’ani.
Bukti pertama adalah naskah tertulis. Bukti kedua adalah hafalan, yaitu
kesaksian orang-orang bahwa pembawa al-Qur’an itu telah mendengarnya dari
Rasulullah SAW.[10]
Buah hasil kerja
Zaid sangat teliti dan hati-hati sehingga memiliki akurasi yang sangat tinggi.
Hal ini dikarenakan[11]
:
- Menulis
hanya ayat al-Qur’an yang
telah disepakati mutawatir riwayatnya.
- Mencakup
semua ayat al-Qur’an yang
tidak mansukh al-Tilawah.
- Susunan
ayatnya seperti yang dapat kita baca pada ayat-ayat yang tersusun dalam al-Qur’an sekarang ini.
- Tulisannya
mencakup al-ahruf al-sab’ah sebagaimana al-Qur’an
itu diturunkan.
- Membuang
segala tulisan yang tidak termasuk bagian dari al-Qur’an.
Senada
dengan itu, al-Zarqani
menyebutkan bahwa ciri-ciri penulisan al-Qur’an pada masa
khalifah Abu Bakar ini adalah[12]
:
- Seluruh
ayat al-Qur’an dikumpulkan dan ditulis dalam satu
mushaf berdasarkan penelitian yang cermat dan seksama.
- Tidak termasuk
di dalamnya ayat-ayat al-Qur’an yang
telah mansukh atau dinasakh bacaannya.
- Seluruh
ayat al-Qur’an yang ditulis di dalamnya telah diakui
kemutawatirannya.
Kekhusususan hasil kerja Zaid sendiri membedakan dengan catatan para sahabat yang menjadi dokumentasi pribadi. Catatan mereka yang masih mencakup ayat-ayat yang mansukh al-Tilawah, ayat-ayat yang termasuk kategori riwayat al-Ahad, catatan doa dan tulisan yang diklasifikasikan sebagai sebagai tafsir dan takwil.
Setelah semua ayat al-Qur’an terkumpul,
kumpulan tersebut disimpan dalam kotak kulit yang disebut “Rab’ah”. Kemudian
kumpulan tersebut diserahkan kepada Abu Bakar. Setelah beliau wafat, kumpulan
atau lembaran-lembaran tersebut berpidah tangan kepada Umar. Lalu setelah Umar
wafat, maka lembaran-lembaran tersebut disimpan oleh putrinya sekaligus istri Rasulullah SAW
yaitu Hafsah binti Umar.
2.4.Jam’ul Qur’an Periode Utsman
Penyebaran Islam
bertambah luas, dan para Qurra‘ pun tersebar ke
seluruh wilayah hingga ke arah utara Jazirah Arab sampai Azerbaijan dan
Armenia. Setiap wilayah diutuslah seorang Qari. Maka bacaan al-Qur’an yang
mereka bawakan berbeda-beda. Berasal dari suku kabilah dan provinsi yang
beragama sejak awal pasukan tempur memiliki dialek yang berlainan. Nabi
Muhammad SAW sendiri memang telah mengajarkan membaca al-Qur’an
berdasarkan dialek mereka masing-masing lantaran dirasa sulit untuk
meninggalkan dialek mereka secara spontan. Namun kemudian adanya perbedaan
dalam penyebutan atau membaca al-Qur’an yang
kemudian menimbulkan kerancuan dan perselisihan dalam masyarakat..[13]
Ketika
itu, orang yang mendengar bacaan al-Qur’an yang berbeda dengan bacaan yang ia
gunakan menyalahkannya. Bahkan mereka saling mengafirkan. Hal ini membuat
Huzaifah bin al-Yaman resah dan mengadukan hal tersebut kepada Utsman.
Menanggapi hal tersebut, Utsman mengirim utusan kepada Hafsah dan meminjam
mushaf Abu Bakar. Kemudian Utsman memanggil Zaid bin Tsabit, Abdullah bin
Zubair, Sa’id bin “As, dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam. Keriga orang
terakhir adalah orang Quraisy. Utsman memerintahkan agar apa yang
diperselisihkan Zaid dengan ketiga orang Quraisy itu ditulis dalam bahasa
Quraisy, karena Qur’an turun dalam logat mereka.
Setelah
mereka melakukan hal itu, Utsman mengembalikan mushaf kepada Hafsah. Mereka
menyalinnya ke dalam beberapa mushaf baru tersebut dan memerintahkan agar semua
Qur’an/mushaf lainnya dibakar. Mushaf tersebutlah yang dikenal dengan mushaf
Utsmani.
Al-Zarqani
sendiri mencatat bahwa ciri-ciri mushaf yang disalin pada Khalifah Usman adalah
sebagai berikut[14] :
- Ayat-ayat al-Qur’an yang tertulis di dalamnya seluruhnya
berdasarkan riwayat yang mutawwir berasal dari Rasulullah.
- Tidak
terdapat di dalamnya ayat-ayat al-Qur’an yang mansukh atau dinasakh bacaannya.
- Susunan
menurut urutan wahyu.
- Tidak
terdapat di dalamnya yang tidak tergolong pada al-Qur’an
seperti apa yang ditulis oleh sebagian sahabat dalam mushaf masing-masing
sebagai penjelasan atau keterangan terhadap ayat-ayat tertentu.
- Mushaf
yang ditulis pada masa khalifah usman tersebut mencakup “tujuh huruf”
dimana al-Qur’an diturunkan dengannya.
Mushaf Usmani tidak memakai tanda baca seperti titik dan
syakal karena semata-mata didasarkan pada watak pembawaan orang-orang Arab
murni di mana mereka tidak memerlukan syakal, titik dan tanda baca lainnya
seperti yang kita kenal sekarang ini. Pada masa itu tulisan hanya terdiri atas
beberapa simbol dasar, hanya melukiskan struktur konsonan dari sebuah kata yang
sering menimbulkan kekaburan lantaran hanya berbentuk garis lurus semata.[15]
BAB 3
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Jam’ul
Qur’an adalah usaha penghimpunan dan pemeliharaan al-Qur’an yang meliputi penghafalan,
serta penulisan ayat-ayat atau surat-surat al-Qur’an. Pengumpulan al-Qur’an
dilakukan dalam tiga periode. Periode Nabi, periode Abu Bakar, dan periode
Utsman.
2.5.Pada
periode Nabi, pengumpulan al-Qur’an dilakukan melalui hafalan dan tulisan.
Penulisan al-Qur’an
pada masa Nabi Muhammad dilakukan untuk mencatat dan menulis setiap wahyu yang
diturunkan kepadanya dengan menertibkan ayat-ayat di dalam surah-surah tertentu
sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW. Penulisan al-Qur’an pada masa Nabi juga bertujuan
untuk menguatkan penghafalan Qur’an para sahabat.
2.6.
Pada periode Abu Bakar pengumpulan al-Qur’an terjadi karena banyaknya Huffaz
yang wafat pada perang Yamamah. Pengumpulan tersebut dilakukan oleh Zaid bin
Tsabit atas usulan dari Umar bin Khatab. Pengumpulan tulisan-tulisan al-Qur’an pada periode kekhalifahan Abu Bakar
diurut berdasarkan urutan turunnya wahyu.
2.7.Pada
periode Utsman, pengumpulan al-Qur’an dilakukan karena adanya perbedaan bacaan al-Qur’an
di berbagai wilayah dan karena adanya aduan dari Huzaifah bin al-Yaman. Proses
pengumpulan tersebut dilakukan oleh Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id
bin “As, dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam. Mereka menyalinnya ke dalam
beberapa Mushaf yang dikenal dengan nama Mushaf Utsmani. Pengumpulan
tulisan-tulisan al-Quran pada periode kekhalifahan Utsman bin Affan diurut
berdasarkan dengan tertib ayat maupun surahnya sebagaimana yang ada sekarang.
2.2 Saran
Demikianlah
Penyusunan makalah ini disusun, sebagai cacatan penutup bahwa pemakalah menyadari
akan banyaknya kekurangan dan kelemahan pada karya tulis ini, olehnya itu
pemakalah berharap agar ada kritik, saran atau masukan yang sifatnya membangun
untuk perbaikan makalah ini. Mohon maaf jika sekiranya apa yang disajikan
oleh pemakalah, terdapat kekurangan dan kekeliruan didalamnya.
Daftar Pustaka
Abdurrahman, Hafidz. Ulumul Qur’an
Praktis. Bogor : Idea Pustaka Utama, 2003.
Al-Bukhari, Muhammad bin Isma‘il. Ebook Shahih
Al-Bukhari,
karya
Abu Ahmad as Sidokare. Pustaka Pribadi, 2009.
Amal, Taufik Adnan. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an. Yogyakarta : Forum Kajian Budaya
dan Agama, 2001.
Anwar, Rosihon. Ulum Al-Qur’an. Bandung : Pustaka Setia,
2013.
Riyanto, Muhammad.
Sejarah Pemeliharaan Al-Qur’an. http://msiuii.wordpress.com/category/segala-katagori/page/2/. Pada tanggal 12 Oktober 2010.
Syafe’i, Rachmat. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung :
Pustaka Setia, 2006.
[2]
Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, Pustaka Setia, Bandung, 2006, hlm. 10.
[3] Hafidz Abdurrahman, Ulumul Qur’an Praktis,
... , hlm. 82.
[7] Taufik Adnan
Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, Forum Kajian Budaya dan Agama, Yogyakarta, 2001, hlm. 151.
[9]
Muhammad Riyanto, Sejarah Pemeliharaan Al-Qur’an, http://msiuii.wordpress.com/category/segala-katagori/page/2/, 12
Oktober 2010.
saat ini kitalah pemegang estapet untuk menjaga al quran
BalasHapus