Rabu, 01 Januari 2014

Sejarah Pengumpulan Al-Qur'an (Jam'ul Qur'an)

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Pada zaman Rasulullah SAW, pemeliharaan ayat-ayat al-Qur’an dilakukan melalui hafalan baik oleh Rasulullah maupun oleh sahabat-sahabat beliau. Namun kemudian Rasul memerintahkan para sahabat untuk menulisnya dengan tujuan untuk memperkuat hafalan mereka. Ayat-ayat al-Qur’an tersebut ditulis melalui benda-benda seperti yang terbuat dari kulit binatang, batu yang tipis dan licin, pelapah kurma, tulang binatang dan lain-lain. Tulisan-tulisan dari benda-benda tersebut dikumpulkan untuk Nabi dan beberapa diantaranya menjadi koleksi pribadi sahabat yang pandai baca tulis.
Tulisan-tulisan melalui benda yang berbeda tersebut memang dimiliki oleh Rasulullah namun tidak tersusun sebagaimana mushaf yang sekarang ini. Namun, ketika Rasul wafat, dan digantikan oleh khalifah Abu Bakar, terjadi pemurtadan masal dan menyebabkan Khalifah Abu Bakar melakukan tindakan dengan cara memeranginya. Dalam perang yang disebut perang Yamamah tersebut sekitar 70 Huffaz (para penghafal Qur’an) mati syahid.
Dari situlah muncul gagasan untuk mengumpulkan Ayat al-Qur’an yang dipelopori oleh Umar bin Khattab. Meskipun gagasan tersebut tidak langsung disetujui oleh Khalifah Abu Bakar, namun alasan Umar bin Khattab bisa diterima dan dimulailah pengumpulan al-Qur’an hingga selesai. Dengan demikian, disusunlah kepanitiaan atau Tim penghimpun al-Qur’an yang terdiri atas Zaid bin Tsabit sebagai ketua dibantu oleh Ubay bin Ka’ab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan para Sahabat lainnya sebagai Anggota.
Namun dengan rentan waktu yang panjang, mulai pada tanggal 12 Rabbiul Awwal tahun 11 H/632 M yang ditandai dengan wafatnya Rasulullah, hingga 23-35 H/644-656 M (masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan) atau sekitar 18 tahun setelah wafatnya nabi barulah dibukukan al-Qur’an yang dikenal dengan Mushaf Utsmani. Antara rentan waktu yang cukup panjang hingga beragam suku dan dialek apakah berpengaruh atas penyusunan kitab suci al-Qur’an tentunya masih menjadi tanda tanya.
Sementara pandangan seperti di atas, umat Islam di Seluruh Dunia meyakini bahwa al-Qur’an seperti yang ada pada kita sekarang ini adalah otentik dari Allah swt. melalui Rasulullah saw., namun cukup menarik, semua riwayat mengatakan bahwa pembukuan kitab suci itu tidak dimulai oleh Rasulullah saw., melainkan oleh para sahabat beliau, dalam hal ini khususnya Abu Bakar, Umar Bin Khattab dan Usman Bin Affan.
Pesan komunikasi yang telah melewati perantara dari seorang tertahap orang lain, terlebih melewati frekuensi jumlah orang yang banyak akan meragukan keabshahan pesan alsi tersebut. Selain itu, rentan waktu yang cukup lama juga amat berpengaruh terhadap nilai dari pesan. Yang menarik adalah seperti apa membuktikan bahwa pesan al-Qur’an adalah sesuatu yang telah ditetapkan berdasarkan ketetapan Allah!
1.2.Rumusan Masalah
  1. Apa yang dimaksud dengan Jam’ul Qur’an ?
  2. Bagaimana proses pengumpulan al-Qur’an pada setiap periode ?
1.3.Tujuan Penullisan
  1. Mengetahui apa pengertian dari Jam’ul Qur’an.
  2. Mengetahui secara terperinci apa bagaimana proses pengumpulan al-Qur’an pada setiap periodenya.

BAB 2
PEMBAHASAN
2.1.Pengertian Jam’ul Qur’an
Merujuk kepada definisi al-Qur’an yang sebelumnya telah disepakati oleh para ulama’:
“Al-Qur’an adalah kalam Allah yang berupa mukjizat, diturunkan kepada Muhammad saw. dan dinukil kepada kita secara mutawatir, serta dinilai beribadah ketika membacanya”
Maka, materi al-Qur’an yang merupakan mukjizat itu sampai kepada kita melalui proses penukilan, bukan periwayatan. Dengan begitu dapat diartikan dengan memindahkan materi yang sama dari sumber asli ke dalam mushaf. Karena itu, pengumpulan al-Qur’an itu tidak lain merupakan bentuk penghafalan al-Qur’an di dada dan penulisannya dalam lembaran. Sebab, dua realitas inilah yang mencerminkan proses penukilan materi al-Qur’an. Dua realitas penghafalan al-Qur’an di dada dan penulisannya dalam lembaran ini secara real telah berlangsung dari kurun ke kurun, sejak Rasul hingga kini, dan bahkan Hari Kiamat.[1]
Ditinjau dari segi bahasa, al-Jam’u berasal dari kata  يخمع- جمع yang artinya mengumpulkan. Sedangkan pengertian al-Jam’u secara terminologi, para ulama berbeda pendapat. Menurut Az-Zarqani, Jam’ul Qur’an mengandung dua pengertian. Pertama mengandung makna menghafal al-Qur’an dalam hati, dan kedua yaitu menuliskan huruf demi huruf dan ayat demi ayat yang telah diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW. Menurut al-Qurtubi dan Ibnu Katsir maksud dari Jam’ul Qur’an adalah menghimpun al-Qur’an dalam hati atau menghafal al-Qur’an.[2]
Menurut Ahmad von Denffer, istilah pengumpulan al-Qur’an (jam’ al-qur’ân) dalam literatur klasik itu mempunyai berbagai makna[3], antara lain:
  1. Al-Qur’an dicerna oleh hati.
  2. Menulis kembali tiap pewahyuan.
  3. Menghadirkan materi al-Qur’an untuk ditulis.
  4. Menghadirkan laporan (tulisan) para penulis wahyu yang telah menghafal al-Qur’an.
  5. Menghadirkan seluruh sumber, baik lisan maupun tulisan.
Berdasarkan pendapat para ulama di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan Jam’ul Qur’an adalah usaha penghimpunan dan pemeliharaan al-Qur’an yang meliputi penghafalan, serta penulisan ayat-ayat serta surat-surat dalam al-Qur’an.[4]


2.2.Jam’ul Qur’an Periode Nabi.
  1. Pengumpulan dalam dada.
Secara kodrati, bangsa arab memiliki daya hafal yang kuat. Hal itu dikarenakan sebagian besar dari mereka buta huruf atau tidak dapat membaca dan menulis. Sehingga dalam menulis berita, syair, atau silsilah keluarga mereka hanya menuliskannya dalam hati. Termasuk ketika mereka menerima ayat-ayat al-Qur’an yang disampaikan oleh Rasulullah SAW.
Dalam kitab shahih Bukhari, dikemukakan bahwa terdapat tujuh Huffaz melalui tiga riwayat. Mereka adalah Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Ma’qal, Muadz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin Sakan, dan Abu Darda.
  1. Pengumpulan dalam bentuk tulisan
Rasulullah telah mengangkat para penulis wahyu Qur’an dari para sahabat pilihan seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Abban bin Sa‘id, Khalid bin Sa‘id, Khalid bin al-Walid, Muawiyah bin Abu Sufyan, Ubay bin Ka’ab, dan Zaid bin Tsabit. Selain penulis wahyu, para sahabat yang lainnya pun ikut menulis ayat-ayat al-Qur’an. Kegiatan ini didasarkan pada sebuah hadits Nabi[5] :
لَا تَكْتُبُوْاعَنِّي شَيْئًاإِلَّاالْقُرْاٰنَ وَمَنْ كَتَبَ عَنِّي سِوَى الْقُرْاٰنَ فَلْيَمْحُهُ.
Artinya :
“Janganlah kamu menulis sesuatu yang berasal dariku kecuali al-Qur’an. Barang siapa telah menulis dariku selain al-Qur’an, hendaklah ia menghapusnya.” (H.R. Muslim)
Diantara faktor pendorong penulisan al-Qur’an pada masa Nabi[6] adalah :
1.      Mem-back up hafalan yang telah dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya.
2.      Mempresentasikan wahyu dengan cara yang paling sempurna, karena bertolak dari hafalan para sahabat saja tidak cukup karena terkadang mereka lupa atau sebagian dari mereka sudah wafat. Adapun tulisan tulisan akan tetap terpelihara walaupun pada masa Nabi al-Qur’an tidak ditulis di tempat tertentu.
Dalam suatu cacatan, disebutkan bahwa sejumlah bahan yang digunakan untuk menyalin wahyu-wahyu yang diturunkan oleh Allah kepada Muhammad[7], yaitu : 
1.      Riqa, atau lembaran lontar (daun yang dikeringkan) atau perkamen (kulit binatang).
2.      Likhaf, atau batu tulis berwarna putih, terbuat dari kepingan batu kapur yang terbelah secara horizontal lantaran panas.
3.      ‘Asib, atau pelapah kurma, terbuat dari bagian ujung dahan pohon kurma yang tipis.
4.      Aktaf, atau tulang belikat, biasanya terbuat dari tulang belikat unta.
5.      Adlla’ atau tulang rusuk, biasaya juga terbuat dari tulang rusuk unta.
6.      Adim, atau lembaran kulit, terbuat dari kulit binatang asli yang merupakan bahan utama untuk menulis ketika itu.
Para sahabat menyodorkan al-Qur’an kepada Rasulullah secara hafalan maupun tulisan. Tetapi tulisan-tulisan yang terkumpul pada jaman nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf, dan yang ada pada seseorang belum tentu dimiliki yang lainnya.
2.3.Jam’ul Qur’an periode Abu Bakar Ash-Shidiq
Pasca wafatnya Rasulullah SAW, kekhalifahan bangsa Arab beralih kepada Abu Bakar. Pada masa kekhalifahannya, Abu Bakar dihadapkan oleh kemurtadan yang terjadi di kalangan bangsa Arab. Abu Bakar pun segera mengerahkan pasukan untuk menumpas kemurtadan. Perang itupun dikenal dengan sebutan Perang Yamamah yang terjadi pada tahun 11 H/633 M.
Dalam perang tersebut, sekitar 70 orang Huffaz mati Syahid. Umar bin Khattab merasa khawatir atas peristiwa ini. Maka Umar mengadukan kekhawatirannya tersebut kepada Abu Bakar.
Diceritakan bahwa Bukhari meriwayatkan di dalam shahihnya dari Zaid bin Tsabit, ia berkata:
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ أَخْبَرَنِي ابْنُ السَّبَّاقِ أَنَّ زَيْدَ بْنَ ثَابِتٍ الْأَنْصَارِيَّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُوَكَانَ مِمَّنْ يَكْتُبُ الْوَحْيَ قَالَ أَرْسَلَ إِلَيَّ أَبُو بَكْرٍ مَقْتَلَ أَهْلِ الْيَمَامَةِ وَعِنْدَهُ عُمَرُ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّ عُمَرَ أَتَانِي فَقَالَ إِنَّ الْقَتْلَ قَدْ اسْتَحَرَّ يَوْمَ الْيَمَامَةِ بِالنَّاسِ وَإِنِّي أَخْشَى أَنْ يَسْتَحِرَّ الْقَتْلُ بِالْقُرَّاءِ فِي الْمَوَاطِنِ فَيَذْهَبَ كَثِيرٌ مِنْ الْقُرْآنِ إِلَّا أَنْ تَجْمَعُوهُ وَإِنِّي لَأَرَى أَنْ تَجْمَعَ الْقُرْآنَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ قُلْتُ لِعُمَرَ كَيْفَ أَفْعَلُ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ عُمَرُ هُوَ وَاللَّهِ خَيْرٌ فَلَمْ يَزَلْ عُمَرُ يُرَاجِعُنِي فِيهِ حَتَّى شَرَحَ اللَّهُ لِذَلِكَ صَدْرِي وَرَأَيْتُ الَّذِي رَأَى عُمَرُ قَالَ زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ وَعُمَرُ عِنْدَهُ جَالِسٌ لَا يَتَكَلَّمُ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ إِنَّكَ رَجُلٌ شَابٌّ عَاقِلٌ وَلَا نَتَّهِمُكَ كُنْتَ تَكْتُبُ الْوَحْيَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَتَتَبَّعْ الْقُرْآنَ فَاجْمَعْهُ فَوَاللَّهِ لَوْ كَلَّفَنِي نَقْلَ جَبَلٍ مِنْ الْجِبَالِ مَا كَانَ أَثْقَلَ عَلَيَّ مِمَّا أَمَرَنِي بِهِ مِنْ جَمْعِ الْقُرْآنِ قُلْتُ كَيْفَ تَفْعَلَانِ شَيْئًا لَمْ يَفْعَلْهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ هُوَ وَاللَّهِ خَيْرٌ فَلَمْ أَزَلْ أُرَاجِعُهُ حَتَّى شَرَحَ اللَّهُ صَدْرِي لِلَّذِي شَرَحَ اللَّهُ لَهُ صَدْرَ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ فَقُمْتُ فَتَتَبَّعْتُ الْقُرْآنَ أَجْمَعُهُ مِنْ الرِّقَاعِ وَالْأَكْتَافِ وَالْعُسُبِ وَصُدُورِ الرِّجَالِ حَتَّى وَجَدْتُ مِنْ سُورَةِ التَّوْبَةِ آيَتَيْنِ مَعَ خُزَيْمَةَ الْأَنْصَارِيِّ لَمْ أَجِدْهُمَا مَعَ أَحَدٍ غَيْرِهِ} لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ {إِلَى آخِرِهِمَا وَكَانَتْ الصُّحُفُ الَّتِي جُمِعَ فِيهَا الْقُرْآنُ عِنْدَ أَبِي بَكْرٍ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ عِنْدَ عُمَرَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ عِنْدَ حَفْصَةَ بِنْتِ عُمَرَتَابَعَهُ عُثْمَانُ بْنُ عُمَرَ وَاللَّيْثُ عَنْ يُونُسَ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ وَقَالَ اللَّيْثُ حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ خَالِدٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ وَقَالَ مَعَ أَبِي خُزَيْمَةَ الْأَنْصَارِيِّ وَقَالَ مُوسَى عَنْ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا ابْنُ شِهَابٍ مَعَ أَبِي خُزَيْمَةَ وَتَابَعَهُ يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ عَنْ أَبِيهِ وَقَالَ أَبُو ثَابِتٍ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ وَقَالَ مَعَ خُزَيْمَةَ أَوْ أَبِي خُزَيْمَةَ.
Telah menceritakan kepada kami Abu Al Yaman Telah mengabarkan kepada kami Syu'aib dari Az Zuhri dia berkata; Telah mengabarkan kepadaku Ibnu As Sabbaq bahwa Zaid bin Tsabit Al Anshari radliallahu 'anhu -salah seorang penulis wahyu- dia berkata; Abu Bakar As shiddiq datang kepadaku pada waktu perang Yamamah, ketika itu Umar disampingnya. Abu Bakr berkata bahwasanya Umar mendatangiku dan mengatakan; "Sesungguhnya perang Yamamah telah berkecamuk (menimpa) para sahabat, dan aku khawatir akan menimpa para penghafal Qur'an di negeri-negeri lainnya sehingga banyak yang gugur dari mereka kecuali engkau memerintahkan pengumpulan (pendokumentasian) al Qur`an." Abu Bakar berkata kepada Umar; "Bagaimana aku mengerjakan suatu proyek yang tidak pernah dikerjakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam?" Umar menjawab; "Demi Allah hal itu adalah sesuatu yang baik." Ia terus mengulangi hal itu sampai Allah melapangkan dadaku sebagaimana melapangkan dada Umar dan aku sependapat dengannya. Zaid berkata; Abu Bakar berkata; -pada waktu itu disampingnya ada Umar sedang duduk, dan dia tidak berkata apa-apa.- "Sesungguhnya kamu adalah pemuda yang cerdas, kami tidak meragukanmu, dan kamu juga menulis wahyu untuk Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, karena itu kumpulkanlah al Qur'an (dengan seksama)." Zaid berkata; "Demi Allah, seandainya mereka menyuruhku untuk memindahkan gunung dari gunung-gunung yang ada, maka hal itu tidak lebih berat bagiku dari pada (pengumpulan atau pendokumentasian al Qur'an). kenapa kalian mengerjakan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam?" Abu Bakar menjawab; "Demi Allah hal itu adalah baik." Aku pun terus mengulanginya, sehingga Allah melapangkan dadaku sebagaimana melapangkan dada keduanya (Abu Bakar dan Umar). Lalu aku kumpulkan al Qur'an (yang ditulis) pada kulit, pelepah kurma, dan batu putih lunak, juga dada (hafalan) para sahabat. Hingga aku mendapatkan dua ayat dari surat Taubah berada pada Khuzaimah yang tidak aku temukan pada sahabat mana pun. Yaitu ayat: Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin. Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki 'Arsy yang agung." (9: 128-129). Dan mushaf yang telah aku kumpulkan itu berada pada Abu Bakr hingga dia wafat, kemudian berada pada Umar hingga dia wafat, setelah itu berada pada Hafshah putri Umar. Diriwiyatkan pula oleh 'Utsman bin 'Umar dan Al Laits dari Yunus dari Ibnu Syihab; Al Laits berkata; Telah menceritakan kepadaku 'Abdur Rahman bin Khalid dari Ibnu Syihab; dia berkata; ada pada Abu Huzaimah Al Anshari. Sedang Musa berkata; Dari Ibrahim Telah menceritakan kepada kami Ibnu Syihab; 'Ada pada Abu Khuzaimah.' Juga diriwayatkan oleh Ya'qub bin Ibrahim dari Bapaknya. Abu Tsabit berkata; Telah menceritakan kepada kami Ibrahim dia berkata; 'Ada pada Khuzaimah atau Abu Khuzaimah.[8]
Jati diri Zaid bin Tsabit begitu istimewa sehingga tak heran Abu Bakar dan Umar diberikan kelapangan dada untuk memberikan tugas tersebut pada Zaid bin Tsabit, yang mana sebagai pengumpul dan pengawas komisi ini Zaid bin Tsabit dibantu Umar sebagai sahibul fikrah yakni pembantu khusus. Beberapa keistimewaan tersebut diantaranya adalah[9] :
  1. Berusia muda, saat itu usianya di awal 20-an (secara fisik & psikis kondisi prima)
  2. Akhlak yang tak pernah tercemar, ini terlihat dari pengakuan Abu Bakar yang mengatakan bahwa, “Kami tidak pernah memiliki prasangka negatif terhadap anda”.
  3. Kedekatannya dengan Rasulullah SAW, karena semasa hidup Nabi, Zaid tinggal berdekatan dengan beliau.
  4. Pengalamannya di masa Rasulullah SAW masih hidup sebagai penulis wahyu dan dalam satu kondisi tertentu pernah Zaid berada di antara beberapa sahabat yang sempat mendengar bacaan al-Qur’an malaikat jibril bersama Rasulullah SAW di bulan Ramadhan.
  5. Kecerdasan yang dimilikinya menunjukkan bahwa tidak hanya karena memiliki vitalitas dan energi namun kompetensinya dalam kecerdasan spiritual dan intelektual
Seperti diceritakan diatas, pengumpulan al-Qur’an dilaksanakan oleh Zaid atas arahan khalifah. Waktu pengumpulan Zaid terhadap al-Qur’an sendiri sekitar 1 tahun. Hal ini dikarenakan Zaid bin Tsabit melakukannya dengan sangat hati-hati. Hal yang pertama kali Zaid lakukan adalah mengumumkan bahwa siapa saja yang memiliki berapapun ayat al-Qur’an, hendaklah diserahkan kepadanya. Ia tidak akan menerima satu ayat pun melainkan orang tersebut membawa bukti dan dua orang saksi yang menyatakan bahwa apa yang ia bawa adalah wahyu Qur’ani. Bukti pertama adalah naskah tertulis. Bukti kedua adalah hafalan, yaitu kesaksian orang-orang bahwa pembawa al-Qur’an itu telah mendengarnya dari Rasulullah SAW.[10]
Buah hasil kerja Zaid sangat teliti dan hati-hati sehingga memiliki akurasi yang sangat tinggi. Hal ini dikarenakan[11] :
  1. Menulis hanya ayat al-Qur’an yang telah disepakati mutawatir riwayatnya.
  2. Mencakup semua ayat al-Qur’an yang tidak mansukh al-Tilawah.
  3. Susunan ayatnya seperti yang dapat kita baca pada ayat-ayat yang tersusun dalam al-Qur’an sekarang ini.
  4. Tulisannya mencakup al-ahruf al-sab’ah sebagaimana al-Qur’an itu diturunkan.
  5. Membuang segala tulisan yang tidak termasuk bagian dari al-Qur’an.
Senada dengan itu, al-Zarqani menyebutkan bahwa ciri-ciri penulisan al-Qur’an pada masa khalifah Abu Bakar ini adalah[12] :
  1. Seluruh ayat al-Qur’an dikumpulkan dan ditulis dalam satu mushaf berdasarkan penelitian yang cermat dan seksama.
  2. Tidak termasuk di dalamnya ayat-ayat al-Qur’an yang telah mansukh atau dinasakh bacaannya.
  3. Seluruh ayat al-Qur’an yang ditulis di dalamnya telah diakui kemutawatirannya.
    Kekhusususan hasil kerja Zaid sendiri membedakan dengan catatan para sahabat yang menjadi dokumentasi pribadi. Catatan mereka yang masih mencakup ayat-ayat yang mansukh a
    l-Tilawah, ayat-ayat yang termasuk kategori riwayat al-Ahad, catatan doa dan tulisan yang diklasifikasikan sebagai sebagai tafsir dan takwil.
Setelah semua ayat al-Qur’an terkumpul, kumpulan tersebut disimpan dalam kotak kulit yang disebut “Rab’ah”. Kemudian kumpulan tersebut diserahkan kepada Abu Bakar. Setelah beliau wafat, kumpulan atau lembaran-lembaran tersebut berpidah tangan kepada Umar. Lalu setelah Umar wafat, maka lembaran-lembaran tersebut disimpan oleh putrinya sekaligus istri Rasulullah SAW yaitu Hafsah binti Umar.
2.4.Jam’ul Qur’an Periode Utsman
Penyebaran Islam bertambah luas, dan para Qurra pun tersebar ke seluruh wilayah hingga ke arah utara Jazirah Arab sampai Azerbaijan dan Armenia. Setiap wilayah diutuslah seorang Qari. Maka bacaan al-Qur’an yang mereka bawakan berbeda-beda. Berasal dari suku kabilah dan provinsi yang beragama sejak awal pasukan tempur memiliki dialek yang berlainan. Nabi Muhammad SAW sendiri memang telah mengajarkan membaca al-Qur’an berdasarkan dialek mereka masing-masing lantaran dirasa sulit untuk meninggalkan dialek mereka secara spontan. Namun kemudian adanya perbedaan dalam penyebutan atau membaca al-Qur’an yang kemudian menimbulkan kerancuan dan perselisihan dalam masyarakat..[13]
Ketika itu, orang yang mendengar bacaan al-Qur’an yang berbeda dengan bacaan yang ia gunakan menyalahkannya. Bahkan mereka saling mengafirkan. Hal ini membuat Huzaifah bin al-Yaman resah dan mengadukan hal tersebut kepada Utsman. Menanggapi hal tersebut, Utsman mengirim utusan kepada Hafsah dan meminjam mushaf Abu Bakar. Kemudian Utsman memanggil Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin “As, dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam. Keriga orang terakhir adalah orang Quraisy. Utsman memerintahkan agar apa yang diperselisihkan Zaid dengan ketiga orang Quraisy itu ditulis dalam bahasa Quraisy, karena Qur’an turun dalam logat mereka.
Setelah mereka melakukan hal itu, Utsman mengembalikan mushaf kepada Hafsah. Mereka menyalinnya ke dalam beberapa mushaf baru tersebut dan memerintahkan agar semua Qur’an/mushaf lainnya dibakar. Mushaf tersebutlah yang dikenal dengan mushaf Utsmani.
Al-Zarqani sendiri mencatat bahwa ciri-ciri mushaf yang disalin pada Khalifah Usman adalah sebagai berikut[14] :
  1. Ayat-ayat al-Qur’an yang tertulis di dalamnya seluruhnya berdasarkan riwayat yang mutawwir berasal dari Rasulullah.
  2. Tidak terdapat di dalamnya ayat-ayat al-Quran yang mansukh atau dinasakh bacaannya.
  3. Susunan menurut urutan wahyu.
  4. Tidak terdapat di dalamnya yang tidak tergolong pada al-Qur’an seperti apa yang ditulis oleh sebagian sahabat dalam mushaf masing-masing sebagai penjelasan atau keterangan terhadap ayat-ayat tertentu.
  5. Mushaf yang ditulis pada masa khalifah usman tersebut mencakup “tujuh huruf” dimana al-Qur’an diturunkan dengannya.
Mushaf Usmani tidak memakai tanda baca seperti titik dan syakal karena semata-mata didasarkan pada watak pembawaan orang-orang Arab murni di mana mereka tidak memerlukan syakal, titik dan tanda baca lainnya seperti yang kita kenal sekarang ini. Pada masa itu tulisan hanya terdiri atas beberapa simbol dasar, hanya melukiskan struktur konsonan dari sebuah kata yang sering menimbulkan kekaburan lantaran hanya berbentuk garis lurus semata.[15]
  
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Jam’ul Qur’an adalah usaha penghimpunan dan pemeliharaan al-Qur’an yang meliputi penghafalan, serta penulisan ayat-ayat atau surat-surat al-Qur’an. Pengumpulan al-Qur’an dilakukan dalam tiga periode. Periode Nabi, periode Abu Bakar, dan periode Utsman.
2.5.Pada periode Nabi, pengumpulan al-Qur’an dilakukan melalui hafalan dan tulisan. Penulisan al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad dilakukan untuk mencatat dan menulis setiap wahyu yang diturunkan kepadanya dengan menertibkan ayat-ayat di dalam surah-surah tertentu sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW. Penulisan al-Qur’an pada masa Nabi juga bertujuan untuk menguatkan penghafalan Qur’an para sahabat.
2.6. Pada periode Abu Bakar pengumpulan al-Qur’an terjadi karena banyaknya Huffaz yang wafat pada perang Yamamah. Pengumpulan tersebut dilakukan oleh Zaid bin Tsabit atas usulan dari Umar bin Khatab. Pengumpulan tulisan-tulisan al-Quran pada periode kekhalifahan Abu Bakar diurut berdasarkan urutan turunnya wahyu.
2.7.Pada periode Utsman, pengumpulan al-Qur’an dilakukan karena adanya perbedaan bacaan al-Qur’an di berbagai wilayah dan karena adanya aduan dari Huzaifah bin al-Yaman. Proses pengumpulan tersebut dilakukan oleh Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin “As, dan Abdurrahman bin Haris bin Hisyam. Mereka menyalinnya ke dalam beberapa Mushaf yang dikenal dengan nama Mushaf Utsmani. Pengumpulan tulisan-tulisan al-Quran pada periode kekhalifahan Utsman bin Affan diurut berdasarkan dengan tertib ayat maupun surahnya sebagaimana yang ada sekarang.
2.2  Saran
Demikianlah Penyusunan makalah ini disusun, sebagai cacatan penutup bahwa pemakalah menyadari akan banyaknya kekurangan dan kelemahan pada karya tulis ini, olehnya itu pemakalah berharap agar ada kritik, saran atau masukan yang sifatnya membangun untuk perbaikan makalah ini. Mohon maaf jika sekiranya apa yang disajikan oleh pemakalah, terdapat kekurangan dan kekeliruan didalamnya.

Daftar Pustaka
Abdurrahman, Hafidz. Ulumul Qur’an Praktis. Bogor : Idea Pustaka Utama, 2003.
Al-Bukhari, Muhammad bin Isma‘il. Ebook Shahih Al-Bukhari, karya Abu Ahmad as Sidokare. Pustaka Pribadi, 2009.
Amal, Taufik Adnan. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an. Yogyakarta : Forum Kajian Budaya dan Agama, 2001.
Anwar, Rosihon. Ulum Al-Qur’an. Bandung : Pustaka Setia, 2013.
Riyanto, Muhammad. Sejarah Pemeliharaan Al-Qur’an. http://msiuii.wordpress.com/category/segala-katagori/page/2/. Pada tanggal 12 Oktober 2010.
Syafe’i, Rachmat. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung : Pustaka Setia, 2006.




[1] Hafidz Abdurrahman, Ulumul Qur’an Praktis, Idea Pustaka Utama, Bogor, 2003, hlm. 82.
[2] Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, Pustaka Setia, Bandung, 2006, hlm. 10.
[3] Hafidz Abdurrahman, Ulumul Qur’an Praktis, ... , hlm. 82.
[4] Rachmat Syafe’i, Pengantar Ilmu Tafsir, ... , hlm. 10.
[5] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, Pustaka Setia, Bandung, 2013, hlm. 38-39.
[6] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, ... , hlm. 39.
[7] Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, Forum Kajian Budaya dan Agama, Yogyakarta, 2001, hlm. 151.
[8] Al-Bukhari, Shahih Bukhari, Hadits No. 4311.
[9] Muhammad Riyanto, Sejarah Pemeliharaan Al-Qur’an, http://msiuii.wordpress.com/category/segala-katagori/page/2/, 12 Oktober 2010.
[10] Muhammad Riyanto, Sejarah Pemeliharaan Al-Qur’an, ... , 12 Oktober 2010.
[11] Muhammad Riyanto, Sejarah Pemeliharaan Al-Qur’an, ... , 12 Oktober 2010.
[12] Muhammad Riyanto, Sejarah Pemeliharaan Al-Qur’an, ... , 12 Oktober 2010.
[13] Muhammad Riyanto, Sejarah Pemeliharaan Al-Qur’an, ... , 12 Oktober 2010.
[14] Muhammad Riyanto, Sejarah Pemeliharaan Al-Qur’an, ... , 12 Oktober 2010.
[15] Muhammad Riyanto, Sejarah Pemeliharaan Al-Qur’an, ... , 12 Oktober 2010.

1 komentar:

  1. saat ini kitalah pemegang estapet untuk menjaga al quran

    BalasHapus