MUTIARA HITAM PADANG PASIR
Sebongkah batu besar – yang
menindih punggung seseorang di tengah padang pasir panas di siang hari –
menghantarkan teriknya surya ke punggung seorang hitam yang sedang disiksa.
Namun yang disiksa hanya melantunkan kalimat yang membuat kemarahan si
penyiksanya makin menjadi: “ahad… ahad…”
Panas makin menyiksa seiring bertambahnya
waktu penjemuran terhadap sosok yang lemah itu. Tawaran diajukan dari penyiksa
agar yang disiksa mau meninggalkan apa yang selama ini menyebabkan kemarahan
penyiksa: Islam. Namun aqidah yang disiksa tak selemah tubuhnya. Ia terus
melantunkan “ahad…ahad…” demi mempertahankan pengakuan eksistensi Tuhannya yang
satu. (Bertentangan dengan si penyiksa yang beranggapan bahwa tuhan itu ramai,
tidak hanya satu).
Dalam pada itu, disebabkan rasa iba yang
mendalam terhadap rekan satu aqidahnya, dermawan Abu Bakar r.a. membeli orang
yang disiksa itu dengan harga yang sangat tinggi. Maka bebaslah orang yang
disiksa, sepenuhnya menjadi manusia merdeka.
Sosok orang yang sempat menjalani hidup
pahit, disiksa karena mempertahankan aqidah itu adalah Bilal bin Rabah.
Keturunan Habasyah (Etiopia) yang terletak di benua Afrika. Bilal memiliki
postur hitam tinggi dan besar, sebagaimana orang Afrika umumnya. Mungkin ada
yang mengejeknya intelek: item tinggi jelek. Tapi di mata Allah, justru yang
mengejeknya itulah yang patut diejek kembali. Karena Bilal begitu mulia di mata
Allah. Unfortunelly, ia menjadi budak seorang bangsawan Mekkah, Umayyah bin
Khalaf.
Karena hatinya yang bersih, ia cepat
sekali menerima hidayah. Hingga ia termasuk barisan paling awal dalam memeluk
Islam. Keislamannya itu menjadi rahasia dirinya sampai suatu hari majikannya
mengetahui juga kalau di telah Islam. Maka ia pun disiksa seperti cerita di
atas.
Bilal merupakan sosok yang militan dalam
melaksanakan ibadah kepada Allah. Hingga suatu saat RasuluLlah mendengar suara
langkah sandal Bilal di surga. RasuluLlah pun tak segan menanyainya, amalan apa
gerangan yang menyebabkan hal itu.
“Wahai Bilal, katakan padaku, dengan apa
kau mendahului aku masuk surga? Aku mendengar gemerisik langkahmu di depanku.
Setiap malam aku mendengar gemerisikmu.” Tanya RasuluLlah.
Maka Bilal menjawab, “Ya RasuluLlah,
setiap kali aku berhadats, aku langsung berwudhu dan sholat sunnah du rakaat.”
“Ya dengan itu kamu mendahului aku.”
RasuluLlah membenarkan.
Suatu malam, ketika itu Rasulullah telah
lama wafat, Bilal bermimpi bertemu dengan sosok kekasih yang ia cintai,
RasuluLlah saw. Di dalam mimpi itu, RasuluLlah berkata padanya, “Bilal, telah
lama kita berpisah, aku rindu sekali padamu.”
“Ya RasuluLlah, aku pun sudah teramat
rindu ingin bertemu dan mencium harun aroma tubuhmu.” Jawan Bilal.
Dan seusai Bilal menjawab seperti itu,
mimpi itu pun berakhir Bilal bangun dari mimpi tersebut dengan perasaan haru
penuh rindu plus penasaran, ingin sekali berjumpa RasuluLlah.
Siangnya Bilal menceritakan kisah tersebut
kepada seorang sahabat lainnya. Bagai rumpian ibu-ibu satu komplek, kisah Bilal
pun menyebar ke penjuru kota. Cerita itu membuat seisi Madinah ikut terharu.
Mengalir kembali kenangan mereka bersama RasuluLlah. Seakan-akan mereka baru
hidup kemarin bersama RasuluLlah. Masing-masing mereka hanyut dalam kisah
klasik yang penuh sentuhan akhlaqul karimah seorang utusan Allah.
Maka menjelang senja, penduduk Madinah
sepakat untuk meminta Bilal mengumandangkan adzan Maghrib apabila telah tiba
saatnya. Padahal Bilal sendiri telah lama tidak menjadi muadzin sepeninggal
RasuluLlah.
Akhirnya setelah sedikit memaksa, Bilal
pun bersedia menjadi muadzin. Saat Bilal dengan kemerduan suaranya
mengumandangkan adzan, nyaris semua penduduk Madinah meneteskan air mata.
Sebenarnya Bilal melanggar keputusannya
sendiri yang ia buat setelah Rasulullah wafat. Saat itu Abu Bakar memintanya
untuk adzan. Namun Bilal menjawab, “Jika engkau dahulu membebaskan aku demi
kepentinganmu, maka aku akan mengumandangkan adzan. Tapi jika demi Allah kau
dulu membebaskan aku, maka biarkan aku menentukan pilihanku.”
“Hanya Demi Allah aku membebaskanmu
Bilal.”
“Maka biarkanlah aku memilih pilihanku…
Sungguh aku tak ingin adzan untuk seseorang pun sepeninggal RasuluLlah.”
“Kalau demikian terserah apa maumu.” Jawab
Abu Bakar.
Terakhir kali Bilal bin Rabah melaksanakan
tugasnya sebagai muadzin saat Umar bin Khattab menjabat sebagai khalifah. Saat
itu Bilal sudah bermukim di Syiria dan Umar mengunjunginya. Ketika tiba
waktu sholat, Umar meminta Bilal untuk mengumandangkan adzan. Bilal pun naik ke
atas menara dan bergemalah suaranya.
Semua sahabat yang ada di sana menangis.
Tangisan yang paling keras adalah Umar bin Khattab.. Itulah adzan terakhir
Bilal. Adzan yang membirukan hati-hati perindu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar