Kamis, 03 Januari 2013

BILAL BIN RABAH

MUTIARA HITAM PADANG PASIR

  Sebongkah batu besar – yang menindih punggung seseorang di tengah padang pasir panas di siang hari – menghantarkan teriknya surya ke punggung seorang hitam yang sedang disiksa. Namun yang disiksa hanya melantunkan kalimat yang membuat kemarahan si penyiksanya makin menjadi: “ahad… ahad…”
Panas makin menyiksa seiring bertambahnya waktu penjemuran terhadap sosok yang lemah itu. Tawaran diajukan dari penyiksa agar yang disiksa mau meninggalkan apa yang selama ini menyebabkan kemarahan penyiksa: Islam. Namun aqidah yang disiksa tak selemah tubuhnya. Ia terus melantunkan “ahad…ahad…” demi mempertahankan pengakuan eksistensi Tuhannya yang satu. (Bertentangan dengan si penyiksa yang beranggapan bahwa tuhan itu ramai, tidak hanya satu).
Dalam pada itu, disebabkan rasa iba yang mendalam terhadap rekan satu aqidahnya, dermawan Abu Bakar r.a. membeli orang yang disiksa itu dengan harga yang sangat tinggi. Maka bebaslah orang yang disiksa, sepenuhnya menjadi manusia merdeka.
Sosok orang yang sempat menjalani hidup pahit, disiksa karena mempertahankan aqidah itu adalah Bilal bin Rabah. Keturunan Habasyah (Etiopia) yang terletak di benua Afrika. Bilal memiliki postur hitam tinggi dan besar, sebagaimana orang Afrika umumnya. Mungkin ada yang mengejeknya intelek: item tinggi jelek. Tapi di mata Allah, justru yang mengejeknya itulah yang patut diejek kembali. Karena Bilal begitu mulia di mata Allah. Unfortunelly, ia menjadi budak seorang bangsawan Mekkah, Umayyah bin Khalaf.
Karena hatinya yang bersih, ia cepat sekali menerima hidayah. Hingga ia termasuk barisan paling awal dalam memeluk Islam. Keislamannya itu menjadi rahasia dirinya sampai suatu hari majikannya mengetahui juga kalau di telah Islam. Maka ia pun disiksa seperti cerita di atas.
Bilal merupakan sosok yang militan dalam melaksanakan ibadah kepada Allah. Hingga suatu saat RasuluLlah mendengar suara langkah sandal Bilal di surga. RasuluLlah pun tak segan menanyainya, amalan apa gerangan yang menyebabkan hal itu.
“Wahai Bilal, katakan padaku, dengan apa kau mendahului aku masuk surga? Aku mendengar gemerisik langkahmu di depanku. Setiap malam aku mendengar gemerisikmu.” Tanya RasuluLlah.
Maka Bilal menjawab, “Ya RasuluLlah, setiap kali aku berhadats, aku langsung berwudhu dan sholat sunnah du rakaat.”
“Ya dengan itu kamu mendahului aku.” RasuluLlah membenarkan.
Suatu malam, ketika itu Rasulullah telah lama wafat, Bilal bermimpi bertemu dengan sosok kekasih yang ia cintai, RasuluLlah saw. Di dalam mimpi itu, RasuluLlah berkata padanya, “Bilal, telah lama kita berpisah, aku rindu sekali padamu.”
“Ya RasuluLlah, aku pun sudah teramat rindu ingin bertemu dan mencium harun aroma tubuhmu.” Jawan Bilal.
Dan seusai Bilal menjawab seperti itu, mimpi itu pun berakhir Bilal bangun dari mimpi tersebut dengan perasaan haru penuh rindu plus penasaran, ingin sekali berjumpa RasuluLlah.
Siangnya Bilal menceritakan kisah tersebut kepada seorang sahabat lainnya. Bagai rumpian ibu-ibu satu komplek, kisah Bilal pun menyebar ke penjuru kota. Cerita itu membuat seisi Madinah ikut terharu. Mengalir kembali kenangan mereka bersama RasuluLlah. Seakan-akan mereka baru hidup kemarin bersama RasuluLlah. Masing-masing mereka hanyut dalam kisah klasik yang penuh sentuhan akhlaqul karimah seorang utusan Allah.
Maka menjelang senja, penduduk Madinah sepakat untuk meminta Bilal mengumandangkan adzan Maghrib apabila telah tiba saatnya. Padahal Bilal sendiri telah lama tidak menjadi muadzin sepeninggal RasuluLlah.
Akhirnya setelah sedikit memaksa, Bilal pun bersedia menjadi muadzin. Saat Bilal dengan kemerduan suaranya mengumandangkan adzan, nyaris semua penduduk Madinah meneteskan air mata.
Sebenarnya Bilal melanggar keputusannya sendiri yang ia buat setelah Rasulullah wafat. Saat itu Abu Bakar memintanya untuk adzan. Namun Bilal menjawab, “Jika engkau dahulu membebaskan aku demi kepentinganmu, maka aku akan mengumandangkan adzan. Tapi jika demi Allah kau dulu membebaskan aku, maka biarkan aku menentukan pilihanku.”
“Hanya Demi Allah aku membebaskanmu Bilal.”
“Maka biarkanlah aku memilih pilihanku… Sungguh aku tak ingin adzan untuk seseorang pun sepeninggal RasuluLlah.”
“Kalau demikian terserah apa maumu.” Jawab Abu Bakar.
Terakhir kali Bilal bin Rabah melaksanakan tugasnya sebagai muadzin saat Umar bin Khattab menjabat sebagai khalifah. Saat itu Bilal sudah bermukim di Syiria  dan Umar mengunjunginya. Ketika tiba waktu sholat, Umar meminta Bilal untuk mengumandangkan adzan. Bilal pun naik ke atas menara dan bergemalah suaranya.
Semua sahabat yang ada di sana menangis. Tangisan yang paling keras adalah Umar bin Khattab.. Itulah adzan terakhir Bilal. Adzan yang membirukan hati-hati perindu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar