Senin, 08 April 2013

ARAB PRA-ISLAM (BAGIAN KEEMPAT)


Muhammad Husain Haekal

Orang-orang   Yahudi  di  negeri-negeri  Arab  merupakan  kaum
imigran yang besar, kebanyakan mereka  tinggal  di  Yaman  dan
Yathrib.  Di  samping  itu  kemudian  agama Majusi (Mazdaisma)
Persia tegak menghadapi arus  kekuatan  Kristen  supaya  tidak
sampai  menyeberangi Furat (Euphrates) ke Persia, dan kekuatan
moril demikian itu didukung oleh  keadaan  paganisma  di  mana
saja  ia  berada. Jatuhnya Rumawi dan hilangnya kekuasaan yang
di tangannya, ialah sesudah pindahnya  pusat  peradaban  dunia
itu ke Bizantium.



Gejala-gejala  kemunduran berikutnya ialah bertambah banyaknya
sekta-sekta Kristen yang sampai menimbulkan  pertentangan  dan
peperangan antara sesama mereka. Ini membawa akibat merosotnya
martabat iman yang tinggi ke dalam kancah  perdebatan  tentang
bentuk  dan  ucapan,  tentang  sampai di mana kesucian Mariam:
adakah ia yang lebih utama dari anaknya Isa Almasih atau  anak
yang  lebih  utama dari ibu - suatu perdebatan yang terjadi di
mana-mana, suatu pertanda yang akan membawa  akibat  hancurnya
apa yang sudah biasa berlaku.

Ini  tentu  disebabkan  oleh karena isi dibuang dan kulit yang
diambil, dan terus menimbun kulit itu  di  atas  isi  sehingga
akhirnya  mustahil  sekali  orang  akan dapat melihat isi atau
akan menembusi timbunan kulit itu.

Apa yang telah menjadi pokok  perdebatan  kaum  Nasrani  Syam,
lain  lagi dengan yang menjadi perdebatan kaum Nasrani di Hira
dan Abisinia. Dan orang-orang Yahudipun,  melihat  hubungannya
dengan  orang-orang  Nasrani,  tidak  akan berusaha mengurangi
atau menenteramkan perdebatan semacam  itu.  Oleh  karena  itu
sudah wajar pula orang-orang Arab yang berhubungan dengan kaum
Nasrani Syam dan Yaman  dalam  perjalanan  mereka  pada  musim
dingin  atau  musim panas atau dengan orang-orang Nasrani yang
datang dari Abisinia, tetap tidak akan sudi memihak salah satu
di  antara  golongan-golongan  itu.  Mereka  sudah puas dengan
kehidupan agama berhala yang  ada  pada  mereka  sejak  mereka
dilahirkan, mengikuti cara hidup nenek-moyang mereka.

Oleh  karena  itu, kehidupan menyembah berhala itu tetap subur
di kalangan mereka, sehingga pengaruh demikian  inipun  sampai
kepada  tetangga-tetangga  mereka  yang  beragama  Kristen  di
Najran  dan  agama  Yahudi  di  Yathrib,  yang  pada   mulanya
memberikan   kelonggaran   kepada   mereka,   kemudian   turut
menerimanya. Hubungan  mereka  dengan  orang-orang  Arab  yang
menyembah  berhala  untuk  mendekatkan  diri  kepada Tuhan itu
baik-baik saja.

Yang menyebabkan orang-orang  Arab  itu  tetap  bertahan  pada
paganismanya  bukan  saja  karena  ada  pertentangan di antara
golongan-golongan Kristen.  Kepercayaan  paganisma  itu  masih
tetap  hidup  di  kalangan  bangsa-bangsa  yang sudah menerima
ajaran  Kristen.  Paganisma  Mesir  dan  Yunani  masih   tetap
berpengaruh  ditengah-tengah  pelbagai  mazhab  yang  beraneka
macam dan di  antara  pelbagai  sekta-sekta  Kristen  sendiri.
Aliran   Alexandria   dan   filsafat  Alexandria  masih  tetap
berpengaruh,  meskipun  sudah  banyak  berkurang  dibandingkan
dengan   masa  Ptolemies  dan  masa  permulaan  agama  Masehi.
Bagaimanapun juga pengaruh itu tetap  merasuk  ke  dalam  hati
mereka.   Logikanya   yang  tampak  cemerlang  sekalipun  pada
dasarnya  masih  bersifat  sofistik  -  dapat   juga   menarik
kepercayaan   paganisma   yang   polytheistik,   yang   dengan
kecintaannya itu dapat didekatkan kepada kekuasaan manusia.

Saya kira inilah yang lebih  kuat  mengikat  jiwa  yang  masih
lemah itu pada paganisma, dalam setiap zaman, sampai saat kita
sekarang ini. Jiwa  yang  lemah  itu  tidak  sanggup  mencapai
tingkat  yang  lebih  tinggi,  jiwa yang akan menghubungkannya
pada semesta alam sehingga ia dapat memahami  adanya  kesatuan
yang menjelma dalam segala yang lebih tinggi, yang sublim dari
semua yang ada dalam wujud ini,  menjelma  dalam  Wujud  Tuhan
Yang  Maha  Esa.  Kepercayaan  demikian  itu hanya sampai pada
suatu manifestasi alam saja  seperti matahari, bulan atau  api
misalnya.  Lalu  tak  berdaya  lagi mencapai segala yang lebih
tinggi, yang akan memperlihatkan adanya manifestasi alam dalam
kesatuannya itu.

Bagi  jiwa  yang lemah ini cukup hanya dengan berhala saja. Ia
akan membawa gambaran yang  masih  kabur  dan  rendah  tentang
pengertian  wujud  dan  kesatuannya.  Dalam hubungannya dengan
berhala itu lalu dilengkapi lagi dengan segala gambaran kudus,
yang  sampai  sekarang  masih  dapat  kita saksikan di seluruh
dunia, sekalipun dunia yang mendakwakan dirinya  modern  dalam
ilmu pengetahuan dan sudah maju pula dalam peradaban. Misalnya
mereka yang pernah berziarah ke gereja Santa Petrus  di  Roma,
mereka  melihat  kaki  patung  Santa  Petrus yang didirikan di
tempat  itu   sudah   bergurat-gurat   karena   diciumi   oleh
penganut-penganutnya,  sehingga  setiap  waktu terpaksa gereja
memperbaiki kembali mana-mana yang rusak.

Melihat semua itu kita dapat memaklumi. Mereka belum nmendapat
petunjuk  Tuhan  kepada  iman  yang  sebenarnya Mereka melihat
pertentangan-pertentangan kaum Kristen yang  menjadi  tetangga
mereka  serta  cara-cara  hidup  paganisma yang masih ada pada
mereka, di tengah-tengah mereka sendiri yang  masih  menyembah
berhala  itu  sebagai warisan dari nenek-moyang mereka. Betapa
kita tak akan memaafkan mereka.  Situasi  demikian  ini  sudah
begitu  berakar  di  seluruh  dunia, tak putus-putusnya sampai
saat ini, dan saya kira memang  tidak  akan  pernah  berakhir.
Kaum  Muslimin  dewasa  inipun  membiarkan paganisma itu dalam
agama mereka, agama yang datang  hendak  menghapus  paganisma,
yang  datang  hendak  menghilangkan  segala penyembahan kepada
siapa saja selain kepada Allah Yang Maha Esa.

Cara-cara penyembahan  berhala  orang-orang  Arab  dahulu  itu
banyak sekali macamnya. Bagi kita yang mengadakan penyelidikan
dewasa ini sukar sekali akan dapat mengetahui  seluk-beluknya.
Nabi  sendiri  telah  menghancurkan  berhala-berhala  itu  dan
menganjurkan  para  sahabat  menghancurkannya  di  mana   saja
adanya.  Kaum  Muslimin  sudah  tidak  lagi bicara tentang itu
sesudah semua  yang  berhubungan  dengan  pengaruh  itu  dalam
sejarah  dan  lektur  dihilangkan.  Tetapi apa yang disebutkan
dalam Quran dan yang dibawa oleh ahli-ahli sejarah dalam  abad
kedua  Hijrah  - sesudah kaum Muslimin tidak lagi akan tergoda
karenanya - menunjukkan, bahwa sebelum Islam  paganisma  dalam
bentuknya yang pelbagai macam, mempunyai tempat yang tinggi.

Di    samping    itu    menunjukkan   pula   bahwa   kekudusan
berhala-berhala itu bertingkat-tingkat adanya. Setiap  kabilah
atau  suku mempunyai patung sendiri sebagai pusat penyembahan.
Sesembahan-sesembahan zaman jahiliah inipun berbeda-beda  pula
antara  sebutan  shanam (patung), wathan (berhala) dan nushub.
Shanam ialah dalam bentuk manusia dibuat dari logam atau kayu,
Wathan  demikian  juga  dibuat dari batu, sedang nushub adalah
batu karang tanpa  suatu  bentuk  tertentu.  Beberapa  kabilah
melakukan    cara-cara   ibadahnya   sendiri-sendiri.   Mereka
beranggapan batu  karang  itu  berasal  dari  langit  meskipun
agaknya  itu adalah batu kawah atau yang serupa itu. Di antara
berhala-berhala yang baik buatannya agaknya yang berasal  dari
Yaman.  Hal  ini tidak mengherankan. Kemajuan peradaban mereka
tidak dikenal di Hijaz, Najd atau  di  Kinda.  Sayang  sekali,
buku-buku   tentang   berhala   ini  tidak  melukiskan  secara
terperinci bentuk-bentuk berhala itu,  kecuali  tentang  Hubal
yang  dibuat  dari  batu  akik dalam bentuk manusia, dan bahwa
lengannya pernah rusak dan oleh  orang-orang  Quraisy  diganti
dengan  lengan dari emas. Hubal ini ialah dewa orang Arab yang
paling besar dan diletakkan dalam Ka'bah di Mekah. Orang-orang
dari semua penjuru jazirah datang berziarah ke tempat itu.

Tidak   cukup  dengan  berhala-berhala  besar  itu  saja  buat
orang-orang Arab guna menyampaikan sembahyang  dan  memberikan
kurban-kurban,  tetapi  kebanyakan  mereka  itu mempunyai pula
patung-patung dan berhala-berhala dalam  rumah  masing-masing.
Mereka  mengelilingi  patungnya  itu  ketika  akan keluar atau
sesudah kembali pulang, dan dibawanya  pula  dalam  perjalanan
bila  patung  itu  mengijinkan ia bepergian. Semua patung itu,
baik yang ada dalam  Ka'bah  atau  yang  ada  disekelilingnya,
begitu  juga  yang  ada  di  semua  penjuru  negeri  Arab atau
kabilah-kabilah dianggap sebagai perantara antara  penganutnya
dengan  dewa  besar.  Mereka beranggapan penyembahannya kepada
dewa-dewa itu sebagai pendekatan kepada  Tuhan  dan  menyembah
kepada  Tuhan  sudah  mereka  lupakan  karena  telah menyembah
berhala-berhala itu.

Meskipun Yaman  mempunyai  peradaban  yang  paling  tinggi  di
antara  seluruh  jazirah  Arab, yang disebabkan oleh kesuburan
negerinya serta pengaturan pengairannya yang  baik,  namun  ia
tidak   menjadi  pusat  perhatian  negeri-negeri  sahara  yang
terbentang  luas  itu,  juga  tidak  menjadi  pusat  keagamaan
mereka.  Tetapi  yang menjadi pusat adalah Mekah dengan Ka'bah
sebagai rumah Ismail. Ke tempat itu orang  berkunjung  dan  ke
tempat  itu  pula  orang  melepaskan pandang. Bulan-bulan suci
sangat dipelihara melebihi tempat lain.

Oleh karena itu, dan sebagai markas perdagangan  jazirah  Arab
yang istimewa, Mekah dianggap sebagai ibukota seluruh jazirah.
Kemudian takdirpun menghendaki pula ia menjadi tanah kelahiran
Nabi   Muhammad,   dan  dengan  demikian  ia  menjadi  sasaran
pandangan dunia sepanjang zaman. Ka'bah  tetap  disucikan  dan
suku  Quraisy masih menempati kedudukan yang tinggi, sekalipun
mereka semua tetap sebagai orang-orang Badwi yang kasar  sejak
berabad-abad lamanya.

Catatan kaki:

 1 Dikutip oleh Sir Muir dalam The Life of Mohammad, p.xc.
 
 2 Cerita demikian terdapat dalam beberapa buku sejarah.
   Encylopedia Britannica juga menyebutnya, dan dikutip oleh
   penulis-penulis buku Historian's History of the World dan juga
   dijadikan pegangan oleh Emile Derminghem dalam la Vie de
   Mahomet. Akan tetapi At-Tabari menceritakan melalui Hisyam ibn
   Muhammad bahwa setelah orang Yaman itu pergi meminta bantuan
   Najasyi atas perbuatan Dhu Nuwas serta menjelaskan apa yang
   telah dilakukannya terhadap orang-orang Kristen oleh pembela
   agama Yahudi itu dan memperlihatkan sebuah Injil yang sudah
   sebagian dimakan api, Najasyi berkata: "Tenaga manusia di sini
   banyak, tapi aku tidak punya kapal. Sekarang aku menulis surat
   kepada Kaisar supaya mengirimkan kapal dan dengan itu akan
   kukirimkan pasukanku." Lalu ia menulis surat kepada Kaisar
   dengan melampirkan Injil yang sudah terbakar. Dan menambahkan:
   "Hisyam ibn Muhammad menduga, bahwa setelah kapal-kapal itu
   sampai ke tempat Najasyi, pasukannyapun dinaikkan dan
   berangkat ke pantai Mandab." Lihat Tarikh't-Tabari cetakan
   Al-Husainia, vol. 2, p. 106 dan 108.
 
 3 Beberapa keterangan dalam buku-buku sejarah berbeda-beda
   tentang sebab penyerbuan Abisinia (Habasya) ini ke Yaman.
   Keterangan itu mengatakan, bahwa hubungan dagang antara Arab
   Musta'riba di Hijaz dengan Yaman dan Abisinia terus
   berlangsung. Pada waktu itu pantai-pantai Habasya membentang
   sepanjang Laut Merah lengkap dengan armada perdagangannya.
   Karena kekayaan dan kesuburannya, Kerajaan Rumawi ingin sekali
   menguasai Yaman. Aelius Galius penguasa (prefek) Kaisar Rumawi
   di Mesir mengadakan persiapan. akan menyerbu Yaman. Pasukannya
   dikerahkan menyeberangi Laut Merah ke Yaman dan juga menyerang
   Najran. Tetapi karena adanya penyakit yang menyerang mereka.
   Orang-orang Yaman mudah sekali mengusir mereka itu dan
   merekapun kembali ke Mesir. Sesudah itupun Rumawõ
   berturut-turut menyerang jazirah Arab di Yaman dan di luar
   Yaman, tapi kenyataannya tidak lebih menguntungkan dan yang
   pernah dilakukan oleh Galius. Saat itu Najasyi di Abisinia
   merasa perlu mengadakan pembalasan terhadap Yaman yang telah
   memaksakan agama Yahudi terhadap orangorang Rumawi yang
   beragama Kristen. Pasukan Aryat dikerahkan menyerbu Yaman dan
   berkuasa di tempat itu sampai pada waktu Persia datang
   mengusir mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar