Senin, 08 April 2013

ARAB PRA-ISLAM (BAGIAN KETIGA)


Muhammad Husain Haekal

Setelah surat Kaisar sampai ke tangan Najasyi, ia  mengirimkan
bersama  orang  Yaman  itu  -  yang  membawa surat - sepasukan
tentara di bawah pimpinan Aryat (Harith) dan Abraha  al-Asyram
salah  seorang prajuritnya. Aryat menyerbu Kerajaan Yaman atas
nama penguasa Abisinia. Ia  memerintah  Yaman  ini  sampai  ia
dibunuh  oleh  Abraha yang kemudian menggantikan kedudukannya.
Abraha inilah  yang  memimpin  pasukan  gajah,  dan  dia  yang
kemudian  menyerbu  Mekah  guna  menghancurkan  Ka'bah  tetapi
gagal, seperti yang akan terlihat nanti dalam pasal berikut.



Anak-anak Abraha  kemudian  menguasai  Yaman  dengan  tindakan
sewenang-wenang.  Melihat  bencana  yang  begitu  lama menimpa
penduduk, Saif bin Dhi Yazan  pergi  hendak  menemui  Maharaja
Rumawi.  Ia mengadukan hal itu kepadanya dan memintanya supaya
mengirimkan penguasa lain dan Rumawi ke Yaman.  Tetapi  karena
adanya perjanjian persekutuan antara Kaisar Yustinianus dengan
Najasyi tidak mungkin ia dapat memenuhi  permintaan  Saif  bin
Dhi  Yazan  itu.  Oleh karena itu Saif meninggalkan Kaisar dan
pergi  menemui  Nu'man  bin'l-Mundhir  selaku  Gubernur   yang
diangkat oleh Kisra untuk daerah Hira dan sekitarnya di Irak.3

Nu'man  dan  Saif  bin Dhi Yazan bersama-sama datang menghadap
Kisra Parvez. Waktu itu ia sedang duduk dalam Ruangan  Resepsi
(Iwan Kisra) yang megah dihiasi oleh lukisan-lukisan bimasakti
pada bagian tahta itu. Di tempat musim  dinginnya  bagian  ini
dikelilingi  dengan  tabir-tabir dari bulu binatang yang mewah
sekali. Di tengah-tengah itu bergantungan  lampu-lampu  kendil
terbuat  daripada  perak  dan  emas dan diisi penuh dengan air
tawar. Di atas tahta itulah  terletak  mahkotanya  yang  besar
berhiaskan  batu  delima, kristal dan mutiara bertali emas dan
perak, tergantung dengan rantai dari  emas  pula.  Ia  sendiri
memakai  pakaian serba emas. Setiap orang yang memasuki tempat
itu akan merasa terpesona  oleh  kemegahannya.  Demikian  juga
halnya dengan Saif bin Dhi Yazan.

Kisra   menanyakan   maksud   kedatangannya  itu  dan  Saifpun
bercerita tentang kekejaman Abisinia di Yaman. Sungguhpun pada
mulanya Kisra Parvez ragu-ragu, tetapi kemudian ia mengirimkan
juga pasukannya di bawah pimpinan Wahraz (Syahrvaraz?),  salah
seorang  keluarga  ningrat  Persia  yang paling berani. Persia
telah  mendapat  kemenangan  dan  orang-orang  Abisinia  dapat
diusir dari Yaman yang sudah didudukinya selama 72 tahun itu.

Sejak  itulah  Yaman  berada  di  bawah  kekuasaan Persia, dan
ketika Islam  lahir  seluruh  daerah  Arab  itu  berada  dalam
naungan agama baru ini.

Akan  tetapi  orang-orang asing yang telah menguasai Yaman itu
tidak langsung di bawah kekuasaan Raja  Persia.  Terutama  hal
itu  terjadi  setelah  Syirawih  (Shiruya  Kavadh II) membunuh
ayahnya, Kisra Parvez, dan dia sendiri  menduduki  takhta.  Ia
membayangkan  -  dengan  pikirannya yang picik itu bahwa dunia
dapat  dikendalikan  sekehendaknya   dan   bahwa   kerajaannya
membantu  memenuhI  kehendaknya  yang sudah hanyut dalam hidup
kesenangan itu. Masalah-masalah kerajaan  banyak  sekali  yang
tidak  mendapat  perhatian karena dia sudah mengikuti nafsunya
sendiri. Ia pergi memburu dalam  suatu  kemewahan  yang  belum
pernah   terjadi  Ia  berangkat  diiringi  oleh  pemuda-pemuda
ningrat berpakaian merah, kuning  dan  lembayung,  dikelilingi
oleh pengiring-pengiring yang membawa burung elang dan harimau
yang sudah dijinakkan dan ditutup moncongnya; oleh budak-budak
yang  membawa  wangi-wangian, oleh pengusir-pengusir lalat dan
pemain-pemain musik. Supaya merasa dirinya dalam suasana musim
semi  sekalipun  sebenarnya  dalam musim dingin yang berat, ia
beserta  rombongannya  duduk  di  atas  permadani  yang  lebar
dilukis  dengan  lorong-lorong, ladang dan kebun yang ditanami
bunga-bungaan   aneka   warna,   dan   dilatarbelakangi   oleh
semak-semak, hutan hijau serta sungai-sungai berwarna perak.

Tetapi    sungguhpun    Syirawih    begitu    jauh   mengikuti
kesenangannya,  kerajaan  Persia  tetap  dapat  mempertahankan
kemegahannya,  dan  tetap  merupakan  lawan yang kuat terhadap
kekuasaan Bizantium dan penyebaran Kristen.  Sekalipun  dengan
naik   tahtanya   Syirawih   ini   telah  mengurangi  kejayaan
kerajaannya, ia telah memberi kesempatan kepada kaum  Muslimin
memasuki negerinya dan menyebarkan Islam.

Yaman  yang telah dijadikan gelanggang pertentangan sejak abad
ke-4 itu sebenarnya telah meninggalkan bekas yang dalam sekali
dalam   sejarah   Semenanjung   Arab   dari   segi   pembagian
penduduknya.  Disebutkan  bahwa  Bendungan  Ma'rib  yang  oleh
suku-bangsa   Himyar   telah   dimanfaatkan  untuk  keuntungan
negerinya, telah hancur pula dilanda banjir besar.  Disebabkan
oleh  adanya  pertentangan  yang  terus-menerus  itu, lalailah
mereka  yang  harus  selalu   mengawasi   dan   memeliharanya.
Bendungan  itu  lapuk  dan  tidak  tahan  lagi menahan banjir.
Dikatakan juga, bahwa setelah  Rumawi  melihat  Yaman  menjadi
pusat  pertentangan antara kerajaannya dengan Persia dan bahwa
perdagangannya  terancam  karena   pertentangan   itu,   iapun
menyiapkan  armadanya  menyeberangi  Laut Merah - antara Mesir
dengan  negeri-negeri  Timur  yang   jauh   -   guna   menarik
perdagangan  yang  dibutuhkan  oleh negerinya. Dengan demikian
tidak perlu lagi ia menempuh jalan kafilah.

Mengenai peristiwanya, ahli-ahli  sejarah  sependapat,  tetapi
mengenai  sebab  terjadinya  peristiwa  itu  mereka  berlainan
pendapat. Peristiwanya ialah mengenai pindahnya kabilah Azd di
Yaman  ke  Utara.  Semua  mereka sependapat tentang kepindahan
ini,  sekalipun  sebagian  menghubungkannya   dengan   sepinya
beberapa kota di Yaman karena mundurnya perdagangan yang biasa
melalui tempat  itu.  Yang  lain  menghubung-hubungkan  kepada
rusaknya   bendungan   Ma'rib,   sehingga   banyak  di  antara
kabilah-kabilah yang pindah karena takut binasa. Tetapi apapun
juga  kejadiannya, namun adanya imigrasi ini telah menyebabkan
Yaman jadi  berhubungan  dengan  negeri-negeri  Arab  lainnya,
suatu  hubungan keturunan dan percampuran yang sampai sekarang
masih dicoba oleh para sarjana menyelidikinya.

Apabila sistem politik di Yaman sudah  menjadi  kacau  seperti
yang  dapat  kita  saksikan, yang disebabkan oleh keadaan yang
menimpa  negeri  itu  serta  dijadikannya  tempat  itu   medan
pertarungan,  maka  struktur  politik serupa itu tidak dikenal
pada beberapa  negeri  Semenanjung  Arab  lainnya  waktu  itu.
Segala  macam  sistem yang dapat dianggap sebagai suatu sistem
politik  seperti  pengertian  kita   sekarang   atau   seperti
pengertian  negara-negara  yang  sudah  maju pada masa itu, di
daerah-daerah  seperti  Tihama,  Hijaz,  Najd  dan   sepanjang
dataran  luas  yang  meliputi  negeri-negeri  Arab, pengertian
demikian itu belum dikenal. Anak negeri pada masa  itu  bahkan
sampai  sekarang adalah penduduk pedalaman yang tidak biasa di
kota-kota. Mereka tidak betah tinggal menetap di suatu tempat.
Yang   mereka   kenal   hanyalah   hidup   mengembara  selalu,
berpindah-pindah mencari padang rumput dan menuruti  keinginan
hatinya.   Mereka   tidak  mengenal  hidup  cara  lain  selain
pengembaraan itu.

Seperti  juga  ditempat-tempat  lain,  disinipun  dasar  hidup
pengembaraan  itu  ialah  kabilah. Kabilah-kabilah yang selalu
pindah dan mengembara itu tidak mengenal suatu peraturan  atau
tata-cara  seperti  yang  kita  kenal.  Mereka  hanya mengenal
kebebasan pribadi, kebebasan keluarga  dan  kebebasan  kabilah
yang  penuh.  Sedang  orang  kota,  atas  nama tata-tertib mau
mengalah  dan  membuang  sebagian  kemerdekaan  mereka   untuk
kepentingan  masyarakat  dan  penguasa,  sebagai  imbalan atas
ketenangan  dan  kemewahan  hidup   mereka.   Sedang   seorang
pengembara  tidak  pedulikan  kemewahan,  tidak  betah  dengan
ketenangan hidup menetap, juga tidak tertarik kepada apapun  -
seperti  kekayaan  yang  menjadi  harapan  orang kota - selain
kebebasannya yang mutlak. Ia hanya mau hidup  dalam  persamaan
yang    penuh    dengan    anggota-anggota   kabilahnya   atau
kabilah-kabilah  lain  sesamanya.  Dasar  kehidupannya   ialah
seperti  makhluk-makhluk lain, mau survive, mau bertahan terus
sehingga sesuai dengan kaidah-kaidah kehormatannya yang  sudah
ditanamkan dalam hidup mengembara yang serba bebas itu.

Oleh  karena  itu,  kaum  pengembara  tidak  menyukai tindakan
ketidak adilan  yang  ditimpakan  kepada  mereka.  Mereka  mau
melawannya   mati-matian,   dan  kalau  tidak  dapat  melawan,
ditinggalkannya  tempat  tinggal  mereka   itu,   dan   mereka
mengembara lagi ke seluruh jazirah, bila memang terpaksa harus
demikian.

Juga itu pula sebabnya, perang adalah jalan yang paling  mudah
bagi  kabilah-kabilah  ini bila harus juga timbul perselisihan
yang tidak mudah  diselesaikan  dengan  cara  yang  terhormat.
Karena  bawaan  itu  juga, maka tumbuhlah di kalangan sebagian
besar kabilah-kabilah itu sifat-sifat harga diri,  keberanian,
suka   tolong-menolong,   melindungi   tetangga   serta  sikap
memaafkan sedapat mungkin dan semacamnya. Sifat-sifat ini akan
makin   kuat   apabila   semakin  dekat  ia  kepada  kehidupan
pedalaman, dan akan makin  hilang  apabila  semakin  dekat  ia
kepada kehidupan kota.

Seperti kita sebutkan, karena faktor-faktor ekonomi juga, baik
Rumawi maupun Persia, hanya merasa tertarik kepada Yaman  saja
dari  antara jazirah lainnya yang memang tidak mau tunduk itu.
Mereka lebih  suka  meninggalkan  tanah  air  daripada  tunduk
kepada  perintah.  Baik  pribadi-pribadi  atau kabilah-kabilah
tidak akan taat kepada  peraturan  apapun  yang  berlaku  atau
kepada lembaga apapun yang berkuasa.

Sifat-sifat  pengembaraan  itu  cukup mempengaruhi daerah yang
kecil-kecil yang tumbuh  di  sekitar  jaziarah  karena  adanya
perdagangan  para  kafilah, seperti yang sudah kita terangkan.
Daerah-daerah ini dipakai oleh para  pedagang  sebagai  tempat
beristirahat  sesudah  perjalanan  yang  begitu meletihkan. Di
situ mereka bertemu dengan tempat-tempat  pemujaan  sang  dewa
guna  memperoleh  keselamatan  bagi  mereka  serta  menjauhkan
marabahaya gurun sahara serta mengharapkan perdagangan  mereka
selamat sampai di tempat tujuan.

Kota-kota  seperti  Mekah, Ta'if, Yathrib dan yang sejenis itu
seperti wahah-wahah (oase) yang terserak di celah-celah gunung
atau   gurun   pasir,   terpengaruh   juga   oleh  sifat-sifat
pengembaraan  demikian  itu.  Dalam  susunan   kabilah   serta
cabang-cabangnya,    perangai   hidup,   adat-istiadat   serta
kebenciannya terhadap segala yang membatasi kebebasannya lebih
dekat kepada cara hidup pedalaman daripada kepada cara-cara di
kota, sekalipun mereka dipaksa oleh sesuatu  cara  hidup  yang
menetap, yang tentunya tidak sama dengan cara-hidup pedalaman.
Dalam pembicaraan tentang Mekah dan Yathrib pada pasal berikut
ini akan terlihat agak lebih terperinci.

                                    (bersambung ke bagian 4/4)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar